Senja News – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti mengenai dampak dari konflik antara Israel dan Iran. Menurutnya, ketegangan geopolitik global tersebut memiliki potensi untuk memperburuk kondisi ekonomi baik secara global maupun nasional.
Sri Mulyani menyatakan bahwa konflik geopolitik tersebut menjadi salah satu fokus utama pembahasan dalam Pertemuan Musim Semi 2024 IMF-World Bank yang baru-baru ini dia hadiri. Hal ini tetap menjadi sorotan utama dalam diskusi bersama para pemimpin dunia.
“Dunia saat ini tengah menghadapi ketegangan geopolitik yang tidak menurun, bahkan cenderung meningkat, dan ini bisa mengakibatkan risiko yang merembes ke dalam ekonomi global,” ungkap Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (26/4/2024).
Dia menyoroti bahwa ketegangan di Timur Tengah akibat konflik antara Israel dan Iran akan memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi. Dampak tersebut mencakup peningkatan harga komoditas, perubahan nilai tukar mata uang, inflasi, serta suku bunga global yang dipengaruhi oleh Federal Funds Rate.
“Ketegangan antara Iran dan Israel terus meningkat, bahkan telah terjadi operasi militer terbatas. Meskipun kita berharap dan berdoa agar konflik terbuka dan total dapat dihindari, namun kita harus tetap waspada terhadap ketegangan ini dan kemungkinan terjadinya konflik militer,” terang Sri Mulyani.
Selain itu, Sri Mulyani juga membahas dampak terhadap harga minyak. Harga minyak sempat mencapai angka US$ 90 per barel, tetapi kemudian kembali turun di bawah US$ 90 per barel untuk harga minyak Brent. Saat ini, harga terakhir mencapai US$ 88 per barel.
“Secara year-to-date (ytd), harga minyak mengalami kenaikan sebesar 14,3%, menunjukkan adanya perlambatan dalam kenaikan harga minyak antara Januari hingga Maret, bahkan hingga April ini. Hal ini tidak bisa diabaikan karena dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi dengan minyak keluaran WTI, meskipun harganya sedikit di bawah Brent, tren kenaikannya tetap sama. Kenaikan tersebut mencapai 17,5% year-to-date dari Januari hingga April 2024. Selain itu, Sri Mulyani mengingatkan bahwa Indonesia perlu tetap waspada terhadap gangguan perbatasan dalam rantai pasokan, terutama dalam sektor minyak dan gas, karena situasi di kawasan tersebut masih tidak stabil.
“Kenaikan harga minyak yang tinggi akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ekonomi kita, dan dapat menyebabkan tekanan inflasi,” tambahnya.
Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah juga terpengaruh. Rupiah sempat melemah hingga mencapai Rp 16.200/US$ akibat kebijakan pengetatan suku bunga oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve.
“Kondisi lingkungan global saat ini menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia cenderung stagnan pada tingkat yang rendah. Dan belum ada faktor yang memberikan dorongan untuk tahun 2024,” kata Sri Mulyani.
“Market sebelumnya berharap akan terjadi penurunan suku bunga beberapa kali di tahun 2024. Namun, dengan data terbaru, harapan tersebut tidak terpenuhi karena kebijakan Federal Reserve yang kemungkinan akan mempertahankan tingkat suku bunga mereka, dan penurunan baru mungkin akan terjadi setelah data tentang ketenagakerjaan dan inflasi memperlihatkan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukannya penyesuaian,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga memaparkan proyeksi pertumbuhan ekonomi berdasarkan prediksi dari Dana Moneter Internasional (IMF). Diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan tetap sebesar 3,2%, tidak mengalami perubahan dari kondisi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang juga sebesar 3,2%.
Sementara untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tetap berada pada level 5,0%. Untuk tahun 2025, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,1%.
“Situasi global yang melemah dan tekanan dari harga komoditas, inflasi, dan suku bunga akan berdampak pada kinerja ekonomi global, terutama pada sektor manufaktur. Meskipun demikian, Indonesia masih berada dalam situasi ekspansif dan mencatat kinerja yang cukup baik,” pungkasnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mewanti-wanti mengenai dampak dari konflik antara Israel dan Iran. Menurutnya, ketegangan geopolitik global tersebut memiliki potensi untuk memperburuk kondisi ekonomi baik secara global maupun nasional.
Sri Mulyani menyatakan bahwa konflik geopolitik tersebut menjadi salah satu fokus utama pembahasan dalam Pertemuan Musim Semi 2024 IMF-World Bank yang baru-baru ini dia hadiri. Hal ini tetap menjadi sorotan utama dalam diskusi bersama para pemimpin dunia.
“Dunia saat ini tengah menghadapi ketegangan geopolitik yang tidak menurun, bahkan cenderung meningkat, dan ini bisa mengakibatkan risiko yang merembes ke dalam ekonomi global,” ungkap Sri Mulyani di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat (26/4/2024).
Dia menyoroti bahwa ketegangan di Timur Tengah akibat konflik antara Israel dan Iran akan memiliki dampak yang signifikan terhadap ekonomi. Dampak tersebut mencakup peningkatan harga komoditas, perubahan nilai tukar mata uang, inflasi, serta suku bunga global yang dipengaruhi oleh Federal Funds Rate.
“Ketegangan antara Iran dan Israel terus meningkat, bahkan telah terjadi operasi militer terbatas. Meskipun kita berharap dan berdoa agar konflik terbuka dan total dapat dihindari, namun kita harus tetap waspada terhadap ketegangan ini dan kemungkinan terjadinya konflik militer,” terang Sri Mulyani.
Selain itu, Sri Mulyani juga membahas dampak terhadap harga minyak. Harga minyak sempat mencapai angka US$ 90 per barel, tetapi kemudian kembali turun di bawah US$ 90 per barel untuk harga minyak Brent. Saat ini, harga terakhir mencapai US$ 88 per barel.
“Secara year-to-date (ytd), harga minyak mengalami kenaikan sebesar 14,3%, menunjukkan adanya perlambatan dalam kenaikan harga minyak antara Januari hingga Maret, bahkan hingga April ini. Hal ini tidak bisa diabaikan karena dipengaruhi oleh ketegangan geopolitik di Timur Tengah,” jelasnya.
Hal yang sama juga terjadi dengan minyak keluaran WTI, meskipun harganya sedikit di bawah Brent, tren kenaikannya tetap sama. Kenaikan tersebut mencapai 17,5% year-to-date dari Januari hingga April 2024. Selain itu, Sri Mulyani mengingatkan bahwa Indonesia perlu tetap waspada terhadap gangguan perbatasan dalam rantai pasokan, terutama dalam sektor minyak dan gas, karena situasi di kawasan tersebut masih tidak stabil.
“Kenaikan harga minyak yang tinggi akan berdampak pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta ekonomi kita, dan dapat menyebabkan tekanan inflasi,” tambahnya.
Tidak hanya itu, nilai tukar rupiah juga terpengaruh. Rupiah sempat melemah hingga mencapai Rp 16.200/US$ akibat kebijakan pengetatan suku bunga oleh Bank Sentral AS, Federal Reserve.
“Kondisi lingkungan global saat ini menyebabkan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia cenderung stagnan pada tingkat yang rendah. Dan belum ada faktor yang memberikan dorongan untuk tahun 2024,” kata Sri Mulyani.
“Market sebelumnya berharap akan terjadi penurunan suku bunga beberapa kali di tahun 2024. Namun, dengan data terbaru, harapan tersebut tidak terpenuhi karena kebijakan Federal Reserve yang kemungkinan akan mempertahankan tingkat suku bunga mereka, dan penurunan baru mungkin akan terjadi setelah data tentang ketenagakerjaan dan inflasi memperlihatkan kondisi yang memungkinkan untuk dilakukannya penyesuaian,” lanjutnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani juga memaparkan proyeksi pertumbuhan ekonomi berdasarkan prediksi dari Dana Moneter Internasional (IMF). Diprediksi bahwa pertumbuhan ekonomi akan tetap sebesar 3,2%, tidak mengalami perubahan dari kondisi pertumbuhan ekonomi tahun 2023 yang juga sebesar 3,2%.
Sementara untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tetap berada pada level 5,0%. Untuk tahun 2025, IMF memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mencapai 5,1%.
“Situasi global yang melemah dan tekanan dari harga komoditas, inflasi, dan suku bunga akan berdampak pada kinerja ekonomi global, terutama pada sektor manufaktur. Meskipun demikian, Indonesia masih berada dalam situasi ekspansif dan mencatat kinerja yang cukup baik,” pungkasnya.