Senja News – Satu demi satu, pabrik industri padat karya seperti tekstil, garmen, hingga alas kaki di Indonesia mulai menghentikan operasional mereka, alias tutup. Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pun tak terelakkan. Namun, efeknya tidak hanya dirasakan oleh buruh atau pekerja saja, tetapi juga oleh warga sekitar pabrik yang turut terkena dampaknya.
Menurut pantauan CNBC Indonesia pada Kamis (13/6/2024) di salah satu lokasi pabrik kosong di Provinsi Jawa Barat, tidak ada lagi keramaian pekerja pabrik yang biasanya menghidupkan aktivitas ekonomi di sekitarnya. Bekas-bekas lapak penjual terlihat ditinggalkan seiring dengan berkurangnya pekerja pabrik, hingga akhirnya tidak tersisa.
Komarudin, seorang Kepala Dusun yang rumahnya berada persis di samping pabrik, terpaksa menjual beberapa unit kontrakannya karena sepi akibat ditinggal para buruh.
“Saya dulu punya 15 pintu kontrakan, sekarang hanya tersisa 11 saja, empat lainnya dijual setelah pabrik itu bangkrut. Dampaknya sangat terasa, karena tidak ada yang menyewa kontrakan lagi. Hasilnya kan dari kontrakan saja. Sekarang benar-benar sepi,” kata Komarudin saat ditemui CNBC Indonesia.
Euis Mawati, pemilik usaha katering dan kantin di kawasan pabrik, juga mengaku terdampak. Ia terpaksa menutup usahanya dan merumahkan karyawannya setelah pabrik yang biasanya menjadi sumber pesanan tutup.
“Sekarang saya sama sekali tidak ada pemasukan. Dulu saya punya 4 karyawan karena selain katering ada kantin untuk menyediakan makan siang bagi para buruh pabrik. Sekarang katering dan kantin sudah tutup, karyawannya juga sudah saya rumahkan semua,” ujar Euis.
Selain Komarudin dan Euis, Iskandar, seorang tukang ojek pangkalan, juga merasakan dampak penutupan pabrik.
“Dampaknya terasa sekali. Setelah pabrik tutup, ekonomi menurun, kadang kami harus mencari pekerjaan lain. Alhamdulillah, kami punya teman yang mengajak jadi kuli bongkaran. Kalau terus mengojek, sulit. Waktu ada pabrik, setengah hari bisa dapat Rp70.000, kalau sehari lumayanlah,” ucap Iskandar.
4o
