Senja News – Sejumlah akademisi dan alumni UGM bersama dengan perwakilan dari berbagai universitas dan elemen masyarakat sipil telah menginisiasi gerakan yang mereka namakan sebagai “Kampus Menggugat”. Tujuan dari gerakan ini adalah untuk menegakkan etika, konstitusi, dan memperkuat demokrasi di Republik Indonesia. Acara deklarasi gerakan “Kampus Menggugat” diadakan di Balairung UGM, Sleman, DIY pada hari Rabu (13/3).
Dalam acara tersebut, hadir sejumlah tokoh seperti Wakil Rektor UGM, Ari Sudjito; Guru Besar Fakultas Psikologi UGM, Koentjoro; Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas; pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar; Rektor UWM, Edy Suandi Hamid; Rektor UII, Fathul Wahid, dan banyak tokoh lainnya.
Dalam deklarasi ini, ditegaskan bahwa gerakan “Kampus Menggugat” bertujuan untuk mengembalikan martabat etika dan konstitusi yang telah terkoyak selama lima tahun terakhir. Perguruan tinggi dianggap sebagai penjaga etika dan lembaga akademis yang bertanggung jawab dalam membentuk masyarakat yang cerdas, menjaga nilai-nilai keadaban, serta mewujudkan keadilan dan kesejahteraan.
Dalam pernyataan deklarasi yang dibacakan oleh salah satu Guru Besar UGM, Wahyudi Kumorotomo, disampaikan bahwa saat ini adalah momentum bagi warga negara untuk merenung dan mengevaluasi penurunan kualitas lembaga di Indonesia serta dampaknya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara.
Ditegaskan bahwa Reformasi tahun 1998 adalah upaya rakyat untuk mengembalikan amanah konstitusi yang telah terkoyak oleh praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) pada masa Orde Baru. Namun, para akademisi melihat adanya kemunduran dalam arah reformasi sejak 17 Oktober 2019, ditandai dengan revisi UU KPK dan pengesahan beberapa UU kontroversial lainnya, seperti UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Pelanggaran terhadap etika dan konstitusi yang meningkat drastis menjelang Pemilu 2024 juga turut memperburuk kualitas lembaga formal dan informal di Indonesia.
Menurut Wahyudi, kemunduran kualitas lembaga ini akan menjadi hambatan dalam pembangunan bagi siapapun yang menjadi presiden Indonesia pada periode 2024-2029 dan seterusnya. Hal ini juga membuat cita-cita Indonesia Emas 2045 sulit tercapai, dengan bayangan negara yang lebih cemas ketimbang optimis.
Para akademisi menekankan bahwa akademisi memiliki peran penting dalam membentuk pemikiran bangsa dan memajukan peradaban melalui pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi. Pelanggaran terhadap etika politik oleh elit politik dianggap sebagai ancaman terhadap kelangsungan hidup bangsa dan negara serta menjauhkan Indonesia dari prinsip negara hukum.
Dalam rangka membangun kembali etika dan norma yang terkoyak serta mengembalikan harga diri konstitusi yang telah dilanggar, para civitas akademika mengajak untuk:
- Memperkuat universitas sebagai lembaga ilmiah independen untuk menyuarakan kebenaran berbasis fakta, nalar, dan penelitian ilmiah.
- Mengajak semua elemen masyarakat sipil untuk terus kritis terhadap pemerintahan dan memperjuangkan kepentingan masyarakat.
- Meminta pemegang kekuasaan untuk memegang teguh prinsip-prinsip demokrasi dan menghormati konstitusi dalam menjalankan kekuasaan.
- Dalam orasinya, Zainal Arifin Mochtar menekankan perlunya membangun pengadilan rakyat sebagai bentuk tanggapan terhadap lemahnya lembaga negara dalam menjatuhkan sanksi. Dia juga menyoroti perlunya perlawanan terhadap politik dinasti dan mengajak para akademisi untuk tidak berdiam diri terhadap kejahatan politik.
Demikianlah deklarasi yang disampaikan oleh civitas akademika UGM dan berbagai universitas lainnya. Mereka berharap agar gerakan “Kampus Menggugat” dapat menjadi tonggak perubahan dalam menghadapi tantangan menuju Indonesia yang lebih baik pada tahun 2045.