Senja News – Pakar Kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, mengusulkan agar DPR merevisi persentase parliamentary threshold untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2029 dengan besaran 1 persen. Rekomendasi ini muncul berdasarkan argumentasi Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dalam permohonan gugatan uji materi Pasal 414 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilu di Mahkamah Konstitusi.
Menurut Titi, penggunaan parliamentary threshold sebesar 1 persen dapat menjadi filter bagi partai politik yang memiliki dukungan signifikan dan pada saat yang sama mengurangi suara yang terbuang. Penerapan threshold ini pernah diterapkan pada Pemilu 2009 dan 2019 dengan hasil yang, meski belum sepenuhnya proporsional, berhasil menurunkan indeks LSQ dan LHI sehingga mendekati kondisi semiproporsional.
Titi Anggraini juga mencatat bahwa alternatif lain yang bisa diambil oleh DPR adalah melakukan penyederhanaan besaran daerah pemilihan dan alokasi kursi. Dengan cara ini, suara sah pemilih tetap diperhitungkan dalam konversi suara menjadi kursi, sementara konsep penyederhanaan bisa tetap diwujudkan melalui penyesuaian jumlah kursi yang diperebutkan. Adapun, opsi lainnya adalah menerapkan ambang batas pembentukan fraksi sebagai upaya merampingkan representasi parlemen.
Namun, Herdiansyah Hamzah, seorang Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, berpendapat bahwa secara ideal, parliamentary threshold sebaiknya dihapus dalam penyelenggaraan pemilu. Meskipun begitu, jika tetap diterapkan dengan ambang batas 1 persen, harus diiringi oleh rasionalisasi yang memadai. Baginya, revisi Undang-Undang tentang Pemilu, terutama Pasal 414 Ayat 1 dengan mengurangi jumlah daerah pemilihan, merupakan langkah yang lebih rasional.
Dalam menjawab rekomendasi ini, anggota Komisi Pemerintahan DPR, Guspardi Gaus, menyatakan bahwa DPR tidak akan mengubah persentase ambang batas parlemen hingga ke 0 persen. Alasannya adalah penghapusan ambang batas parlemen dianggap akan menghambat dinamika DPR dalam mengatur para calon anggota legislator terpilih. Meski begitu, Guspardi menegaskan bahwa DPR akan menindaklanjuti hasil putusan Mahkamah Konstitusi sesuai dengan syarat-syarat yang diajukan oleh Mahkamah tersebut. Selain itu, Guspardi menyatakan bahwa evaluasi akan lebih difokuskan pada nilai 4 persen, bukan pada penghapusan ambang batas parlemen.
Dengan demikian, debat terkait parliamentary threshold tetap menjadi perbincangan hangat di kalangan ahli kebijakan, akademisi, dan politisi. Meskipun terdapat perbedaan pandangan, keputusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan sinyal bahwa perlunya penyesuaian untuk memastikan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan kepastian hukum tetap terjaga.