Senja News – Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, yang juga merupakan calon wakil presiden nomor urut 3 pada Pemilu 2024, telah menyampaikan pandangannya mengenai dugaan kecurangan dalam pemilihan umum tersebut.
Mahfud mengatakan bahwa isu tersebut dapat diatasi melalui jalur politik, khususnya dengan menggunakan hak angket yang dimiliki oleh DPR. Namun, ia juga menegaskan bahwa hak angket tersebut tidak akan mengubah hasil resmi Pemilu. Lebih lanjut, Mahfud menyatakan bahwa hak angket dapat menghasilkan sanksi kepada Presiden Joko Widodo, termasuk pemakzulan presiden atau impeachment.
“Pernyataan bahwa kisruh dalam pemilihan umum ini tidak dapat diselesaikan melalui hak angket adalah keliru. Semua anggota partai politik di DPR memiliki kewenangan untuk mengusulkan penyelidikan melalui hak angket. Hal tersebut jelas merupakan bagian dari hak-hak mereka,” ujar Mahfud MD pada 26 Februari 2024.
Pemilu 2024 telah berlangsung dengan hasil yang masih belum pasti, baik untuk pemilihan presiden dan wakil presiden maupun untuk pemilihan legislatif (DPR dan DPD). Meskipun Komisi Pemilihan Umum (KPU) belum secara resmi mengumumkan hasilnya, namun berdasarkan hasil quick count, pemenang calon presiden dan calon wakil presiden telah diketahui.
Pakar Hukum Pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai bahwa pemenang tersebut telah mendapatkan dukungan dari Presiden Jokowi karena putra sulungnya, Gibran, turut serta dalam kontestasi sebagai calon wakil presiden dari pasangan Prabowo.
Namun, menurut Fickar, pelaksanaan Pemilu 2024 tidaklah mulus, terutama setelah adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023. Putusan tersebut menambahkan persyaratan baru mengenai batasan usia bagi calon presiden dan calon wakil presiden yang bersifat memaksa. Dampaknya, Gibran yang belum memenuhi syarat sebagai calon wakil presiden “dipaksa” melalui putusan tersebut.
“Seharusnya, keputusan semacam ini sepatutnya diambil oleh DPR bersama presiden. Selain itu, putusan MK tersebut juga mengakibatkan Putusan Dewan Kehormatan MK (DKMK) yang menggulingkan Anwar Usman dari jabatannya sebagai Ketua MK. Hal tersebut dikarenakan Anwar Usman dinyatakan melanggar etika profesional seorang hakim,” ungkap Fickar.
Lebih lanjut, Fickar juga menyoroti keterkaitan antara beberapa peristiwa politik dan hukum. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 lahir setelah wacana perpanjangan masa jabatan presiden untuk ketiga kalinya menghilang.
“Penolakan dari pihak legislatif terhadap ide jabatan presiden selama 3 periode membuat pencalonan putra presiden sebagai calon wakil presiden menjadi kontroversi bagi partai pendukung. Dengan demikian, pencalonan Gibran telah menutup kesempatan bagi politisi lain yang sudah berusaha keras untuk mendapatkan posisi calon wakil presiden,” kata Fickar.
Menurut Fickar, peristiwa-peristiwa politik tersebut menunjukkan adanya aroma nepotisme. Dengan membiarkan anaknya terlibat dalam pemilihan umum sebagai calon wakil presiden, Presiden Jokowi telah memenuhi kriteria nepotisme. Hal ini sangat jarang terjadi di negara demokratis, kecuali di negara monarki.
Selain itu, dugaan kecurangan dalam Pemilu 2024 juga telah menimbulkan masalah bagi KPU yang telah menerima pencalonan Prabowo-Gibran. KPU diadili dan dihukum oleh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) karena dianggap melakukan tindakan tidak etis.
“Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme melarang praktik nepotisme di dalam penyelenggaraan negara. Namun, ketentuan ini tidak mencakup tindakan presiden sebagai kepala negara. Oleh karena itu, proses pemakzulan presiden harus dilakukan melalui DPR berdasarkan Pasal 7A UUD 1945,” tandas Abdul Fickar Hadjar.